Site icon PCMMU.CO

Mengelola Ujian Gangguan Mental ala Nabi Muhammad Saw

Share halaman ini

Ujian emosional adalah bagian yang tak terelakkan dari pengalaman manusia. Namun, di kalangan sebagian umat Muslim, sering kali muncul anggapan bahwa seorang Muslim sejati tidak akan menderita depresi. Beberapa pihak bahkan menilai bahwa depresi merupakan tanda lemahnya iman. Pandangan seperti ini keliru lantaran tidak memiliki basis argumen yang kokoh.

Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan (QS. Al-Mulk: 2, Hud: 7, Al-An’am: 165, Al-Mu’minun: 30, Al-Anbiya: 35, Ali ‘Imran: 186, dan Al-Insan: 2). Setiap manusia akan diuji dalam kekayaan, kesehatan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya (QS. Al-Baqarah: 186, Al-Anbiya: 155, dan Al-An’am: 156). Ujian ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang biasa, tetapi juga bagi para nabi yang merupakan manusia terbaik.

Bahkan, Nabi Muhammad Saw sendiri mengalami ujian emosional yang berat dalam berbagai fase hidupnya. Ketika ditanya siapa yang paling berat ujiannya, Nabi Saw menjawab, “Para nabi, kemudian yang mengikuti mereka, dan setelahnya yang mengikuti mereka lagi” (Misykāt al-Maṣābīḥ, no. 1562). Nabi juga mengajarkan bahwa semakin kuat iman seseorang, semakin besar ujian yang mereka hadapi. Ujian ini untuk memperkuat ketabahan, rasa syukur, dan keteguhan dalam iman.

Nabi Muhammad Saw tidak luput dari rasa duka dan kesedihan. Salah satu episode paling menyentuh adalah ketika beliau mengalami apa yang disebut sebagai “Tahun Kesedihan” (عام الحزن). Pada periode ini, Nabi Saw kehilangan dua sosok yang sangat berharga, yaitu Khadijah, istrinya, dan Abu Thalib, pamannya. Kehilangan tersebut menambah beban kesedihan yang beliau alami, terutama di tengah tekanan ekonomi akibat boikot sosial yang dilakukan oleh Kafir Quraisy.

Di dalam Al-Qur’an, Allah bahkan mengakui kesedihan Nabi dengan ayat yang menggambarkan keprihatinan beliau atas penolakan kaumnya terhadap pesan yang beliau bawa. Allah berfirman dalam QS. Al-Kahf ayat 6, “Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling…” Allah pun menasehati beliau agar tidak terlalu larut dalam kesedihan dan menyerahkan hasil akhirnya kepada-Nya (QS. Fatir: 8).

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun Nabi Saw mengalami kesedihan, beliau tidak pernah menyangkal emosinya. Dalam momen duka ketika putranya, Ibrahim, wafat, Nabi Saw menunjukkan kemanusiaannya dengan mengungkapkan rasa sedih yang tulus. Beliau bersabda, “Kepergianmu, wahai Ibrahim, tentu membuat kami semua sangat bersedih” (Riyāḍ al-Ṣāliḥīn, no. 927). Kata-kata ini menunjukkan bahwa bahkan orang dengan iman sekuat Nabi pun dapat merasakan kesedihan, tetapi mereka tetap menjaga keseimbangan antara perasaan dan kepatuhan kepada Allah.

Praktik spiritual merupakan bagian dari penyembuhan yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Beliau mengajarkan pentingnya salat dan dzikir sebagai sarana untuk meredakan kecemasan. Dalam sebuah hadis, beliau meminta Bilal untuk memanggil adzan agar mereka bisa menemukan ketenangan melalui salat (Sunan Abī Dāwūd, no. 4986). Nabi Muhammad Saw juga memiliki rutinitas dzikir pagi dan sore untuk selalu mengingat Allah. Dalam doa paginya, beliau memohon perlindungan dari kecemasan dan kesedihan.

Nabi Saw tidak hanya mengandalkan aspek spiritual seperti dzikir dan doa, tetapi juga mengambil langkah fisik dan praktis untuk menjaga kesehatannya. Pengelolaan emosi dalam ajaran Nabi Muhammad Saw meliputi pendekatan yang holistik. Misalnya, Nabi Muhammad Saw memberikan nasihat praktis dalam mengatur emosi, seperti jika kita marah ketika berdiri, maka duduklah; jika sedang duduk, berbaringlah (Abī Dāwūd, no. 4782).

Contoh praktis lainnya adalah ketika Aisyah RA menyajikan obat herbal berupa talbīnah, sejenis makanan dari gandum yang dicampur dengan susu dan madu, kepada kerabat yang sedang berduka. Nabi Saw sendiri menyebut talbīnah sebagai makanan yang dapat menenangkan hati yang berduka dan membantu mengurangi kesedihan (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 5417). Praktik ini menunjukkan bahwa Nabi Saw menganjurkan pengobatan fisik bersamaan dengan pengobatan spiritual dalam mengatasi tekanan emosional.

Selain itu, Nabi Saw mendorong umatnya untuk mencari pengobatan dan tidak mengabaikan perawatan medis. Beliau mendorong kita untuk tidak menanggung penderitaan dalam diam, melainkan mencari solusi untuk segala penyakit, termasuk yang bersifat psikologis. Beliau bersabda, “Carilah obat, wahai hamba-hamba Allah, karena setiap penyakit pasti ada obatnya kecuali kematian” (Jāmiʿ al-Tirmidhī, vol. 4, bk. 2, hadits 2038).

Hadis di atas menggarisbawahi pentingnya mencari solusi medis selain mengandalkan doa dan usaha spiritual. Nabi Saw tidak mengajarkan untuk mengabaikan faktor-faktor fisik dalam penyembuhan, bahkan beliau memotivasi umatnya untuk mencari pengobatan yang tersedia, termasuk bentuk-bentuk pengobatan yang bersumber dari tradisi kedokteran saat itu.

Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kesehatan mental dan fisik dipandang secara integral. Nabi Saw mengajarkan bahwa selain berdoa dan memperbanyak ibadah, kita juga perlu memperhatikan aspek-aspek duniawi dalam menjaga kesehatan, baik itu dengan makanan, pengobatan, maupun dukungan sosial dari keluarga dan teman.

Sayangnya, dalam masyarakat modern, banyak Muslim yang masih ragu untuk mencari bantuan profesional terkait masalah kesehatan mental, karena ada anggapan bahwa masalah ini terkait dengan sihir, mata jahat, atau gangguan jin. Meskipun dalam Islam diakui adanya fenomena-fenomena tersebut, Nabi Saw mengajarkan keseimbangan dalam pendekatan terhadap penyembuhan, yang mencakup baik aspek spiritual maupun medis.

Dalam menghadapi kesulitan emosional, keteladanan Nabi Saw memberikan pelajaran berharga. Beliau tidak hanya menunjukkan bahwa kesedihan adalah bagian dari kehidupan manusia, tetapi juga menawarkan cara-cara yang sehat dan seimbang untuk menghadapinya. Nabi Saw memberikan warisan yang kaya bagi umat Muslim dalam menjaga kesehatan mental mereka. Islam tidak menuntut peniadaan emosi, tetapi mengajarkan cara untuk mengelolanya dengan baik, sehingga kita tetap dapat menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan keikhlasan kepada Allah.

Referensi:

Jāmiʿ al-Tirmidzī, vol. 4, bk. 2, hadits 2038, https://sunnah.com/urn/721670, diakses pada Selasa, 24 September 2024.

Misykāt al-Maṣābīḥ, no. 1562, https://sunnah.com/mishkat:1562, diakses pada Selasa, 24 September 2024.

Rania Awaad, Danah Elsayed dan Hosam Helal, “Holistic Healing: Islam’s Legacy of Mental Health”, https://yaqeeninstitute.org/read/paper/holistic-healing-islams-legacy-of-mental-health, diakses pada Selasa, 24 September 2024.

Riyāḍ al-Ṣāliḥīn, no. 927, https://sunnah.com/riyadussalihin:927, diakses pada Selasa, 24 September 2024.

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 5417, https://sunnah.com/bukhari:5417, diakses pada Selasa, 24 September 2024.

Artikel ini diterbitkan ulang dari: https://muhammadiyah.or.id/2024/09/mengelola-ujian-gangguan-mental-ala-nabi-muhammad-saw/

Exit mobile version